Jika Warga Mau Bersepeda, Jakarta akan Bebas Macet!

Review Sepeda | Artikel Terkait Sepeda | Bike to Work | Jika anda seorang yang rajin bersepeda, dan anda sedang membaca tulisan ini, ada baiknya anda harus bangga. Karena itu artinya anda menjadi bagian orang yang ikut menjaga kota anda tetap sehat udaranya dan tidak menjadi bagian dari penyebab kemacetan.

Ya! Karena secara teori jika setiap orang yang bepergian di area dekat, menggunakan sepeda, maka itu artinya dirinya ikut berperan mengurangi kemacetan.

Kebijakan dan saran supaya orang kota perbanyak menggunakan sepeda sudah diserukan oleh hampir pejabat negara. Mulai dari Jokowi, bahkan SBY juga pernah menyerukan supaya masyarakat beralih ke sepeda saat pergi bekerja.

Dikutip dari republika.co.id [6/9/16], diberitakan jika Susilo Bambang Yudhoyono, saat masih menjabat sebagai presiden, meminta kepada para bupati dan wali kota membuat jalur untuk sepeda sebagai alternatif transportasi para pekerja menuju kantornya. Selain bersih dan ramah lingkungan, bersepeda juga hemat secara ekonomi dan menyehatkan para pengayuhnya.

Sepeda bukan barang baru di Indonesia. Bahkan sampai 1950-an pernah mendominasi transportasi di Jakarta, di samping becak. Ke sekolah dan perguruan tinggi orang naik sepeda. Demikian juga para pekerja, ke kantor-kantor pulang pergi bersepeda.

Di tempat-tempat tersebut, termasuk bioskop dan tempat hiburan, ada parkir khusus untuk sepeda. Maklum, kala itu mobil dan motor yang sekarang jumlahnya seabrek-abrek belum banyak jumlahnya. Kalaupun ada, hanya milik orang-orang tajir (kaya).

Sepeda pertama muncul di Batavia —sebutan Jakarta kala itu— pada 1890. Pada waktu itu, sepeda merk ‘Rover’ yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama adalah seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir, dekat Monas sekarang.

Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada 1937, di Batavia tercatat ada 70 ribu sepeda, atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.

Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yang sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Sehingga Pemprov DKI Jakarta saat ini tidak perlu memutar otak mencari solusi mengurai kemacetan yang saban hari kian akut.

Solusi mulai dari penerapan 3 in 1, Electronic Road Pricing (ERP), hingga kebijakan pelat ganjil-genap dinilai belum mampu membuat para pengguna kendaraan pribadi berpaling ke angkutan umum.

Plus Minus Bersepeda

Fauzi Bowo, saat menjabat sebagai gubernur, merespons permintaan SBY dengan cukup baik. Ia menyatakan akan membuka jalur khusus bila jumlah yang bersepeda mencapai satu juta orang. Di masa kolonial, Belanda sudah lebih dahulu membuka jalur khusus untuk sepeda.

Bersepeda, menurut Kenneth Cooper, pencetus olahraga aerobik, sangat menyehatkan. Menurut definisi yang dipopulerkan oleh Cooper, aerobik adalah setiap aktivitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah, termasuk dengan bersepeda.

Menurut Prof dr Dede Kusmana, ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, dengan bersepeda secara teratur bukan hanya kebugaran jasmani yang meningkat, tapi kadar lemak darah yang jelek (kolesterol LDL, kolesterol total dan trigliserida) yang menyebabkan penyakit jantung akan menurun. Sebaliknya, kadar lemak yang baik akan meningkat.

Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari akan kena tilang. Dendanya lima gulden, suatu jumlah yang cukup untuk makan sederhana selama sebulan. Istilah “damai” antara polisi dan pengendara tidak ada kala itu.

Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor. Pemilik sepeda tiap tahun harus membayar pajak yang disebut peneng. Demikian juga delman atau sado.

Warga Belanda, bila bekerja ke Jakarta Kota juga naik sepeda, di samping trem. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap injak maju dengan rem kaki. Orang pribumi kaya menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi ‘tik – tik – tik‘.

Ayo Giatkan Terus Budaya BERSEPEDA!

Salam Gowes!

About reviewsepeda.com

reviewsepeda.com
Informasi lengkap seputar sepeda: Harga Sepeda, Merk Sepeda, Jenis Sepeda, Sepeda Listrik, Sepeda MTB, Sepeda Anak, Sepeda Gunung, Sepeda Lipat, Sepeda Polygon, Sepeda United, Sepeda Thrill, Komunitas Sepeda, dll

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *